Sebuah penemuan paleontologi luar biasa yang berisi sekitar 3.300 jejak dinosaurus yang diawetkan ditemukan para ilmuwan di Queensland, Australia modern. Saat ini, tempat ini dikenal sebagai “Jurassic Park” Australia.
Penemuan tersebut membuat para ilmuwan pun bertahun-tahun berusaha memecahkan misteri tersebut. Apakah ini bukti adanya penyerbuan dinosaurus langka mirip T. rex, atau apakah ini sekadar penyeberangan sungai yang populer?
Pertanyaan ini semakin diperumit oleh fakta bahwa jejak kaki tridaktil (berjari tiga) dari ornithischia pemakan tumbuhan dan predator theropoda bisa sangat mirip.
Untuk membantu menjelaskan pertanyaan ini, para ahli paleontologi Universitas Queensland Anthony Romilio pun merekrut kecerdasan buatan (AI) untuk membantu para ilmuwan menguraikan jejak kuno ini.
Berkat bantuan AI, Romilio dan timnya memastikan bahwa jejak kaki tersebut yang awalnya dianggap milik theropoda, sebenarnya milik ornithischia pemakan tumbuhan yang lebih jinak. Para peneliti mempublikasikan hasilnya minggu ini di jurnal Royal Society Interface.
Agar teknologi siap menghadapi era pelacakan jejak kaki, Romilio dan timnya melatih program AI yang disebut Deep Convolutional Neural Networks, yang menggunakan jaringan syaraf tiruan untuk menganalisis sejumlah besar data melalui pembelajaran mesin.
Para peneliti pun kemudian memberi AI lebih dari 1.500 jejak kaki dinosaurus yang terkait dengan theropoda dan ornithischian serta dua dinosaurus yang terkait dengan teka-teki berusia 93 juta tahun.
Peran AI Dalam Paleontology
Munculnya kecerdasan buatan (AI) dalam paleontologi mengantarkan era baru dalam penemuan dan pemahaman, menawarkan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menemukan bumi dan menafsirkan rahasia masa lalu prasejarah planet kita.
Penerapan teknologi AI yang inovatif ini mentransformasi bidang paleontologi, meningkatkan efisiensi dan akurasi proses penelitian, dan memberikan wawasan baru mengenai evolusi kehidupan di Bumi.
Nah, kemampuan AI untuk memproses dan menganalisis data dalam jumlah besar dengan kecepatan luar biasa merevolusi cara kerja ahli paleontologi. Secara tradisional, identifikasi dan klasifikasi fosil, yang merupakan aspek fundamental penelitian paleontologi, merupakan proses yang memakan banyak tenaga dan waktu.
Namun, dengan munculnya AI, proses ini telah dipercepat secara signifikan. Algoritme pembelajaran mesin kini dapat dengan cepat menganalisis ribuan gambar fosil, mengidentifikasi dan mengkategorikannya secara akurat dalam waktu yang sangat singkat yang dibutuhkan peneliti manusia.
Selain mempercepat proses penelitian, AI juga meningkatkan akurasi studi paleontologi. Algoritme pembelajaran mesin mampu mengidentifikasi pola dan korelasi halus dalam data yang mungkin diabaikan oleh peneliti manusia.
Kemampuan untuk mendeteksi dan menafsirkan pola-pola kompleks inilah yang sangat berharga dalam studi paleoklimatologi, penyelidikan iklim kuno.
Pasalnya, dengan menganalisis data geologi dan fosil, AI dapat membantu ahli paleontologi merekonstruksi iklim masa lalu dengan tingkat akurasi yang tinggi, sehingga memberikan wawasan penting mengenai sejarah iklim bumi dan dampak perubahan iklim terhadap evolusi kehidupan.
Selain itu, AI memfasilitasi penemuan spesies baru. Dalam beberapa tahun terakhir, algoritma pembelajaran mesin telah digunakan untuk mengidentifikasi spesies yang sebelumnya tidak diketahui dari data fosil.
Misalnya, pada tahun 2020, algoritme AI digunakan untuk mengidentifikasi spesies dinosaurus baru dari data fosil, yang menandai tonggak penting dalam penggunaan AI dalam paleontologi.
Selain itu. AI tidak hanya mengubah cara kerja ahli paleontologi tetapi juga cara kita memahami sejarah kehidupan di Bumi. Dengan menganalisis data fosil dan geologi, AI dapat membantu merekonstruksi pohon evolusi kehidupan, menjelaskan hubungan antara berbagai spesies dan faktor-faktor yang mendorong evolusi mereka.
Hal ini dapat memberikan wawasan penting mengenai proses spesiasi dan kepunahan, membantu kita memahami dinamika keanekaragaman hayati dari waktu ke waktu secara geologis.
Penggunaan AI dalam paleontologi dapat mempunyai implikasi yang signifikan terhadap upaya konservasi. Dengan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mendorong evolusi dan kepunahan spesies di masa lalu, AI dapat membantu memberikan masukan bagi strategi konservasi spesies yang terancam punah dan pelestarian keanekaragaman hayati dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan lingkungan lainnya.
Perdebatan Tentang Penyebab Dinosaurus Punah
Sejak penemuan kawah besar di Semenanjung Yucatan, Meksiko pada awal tahun 1990an, para ilmuwan yakin bahwa sebuah asteroid menghantam Bumi 66 juta tahun yang lalu dan membunuh dinosaurus dan sebagian besar kehidupan di planet ini.
Namun penyebabnya belum diketahui secara pasti, dan beberapa ilmuwan mempertanyakan teori “kematian mendadak karena asteroid” yang diyakini secara luas.
Kelompok tersebut percaya bahwa letusan gunung berapi besar-besaran, yang mungkin telah melepaskan gas-gas yang mengubah iklim di wilayah Spanyol yang dikenal sebagai Deccan Traps, memainkan peran penting.
Kini, sekelompok peneliti di Universitas Yale hanya menyalahkan asteroid tersebut. Mereka mengatakan bahwa segala dampak lingkungan dari letusan dan aliran lava yang terjadi di Deccan Traps (terletak di tempat yang sekarang disebut India) terjadi jauh sebelum peristiwa kepunahan yang memusnahkan dinosaurus, yang oleh para ilmuwan disebut K-Pg.
Beberapa peneliti percaya bahwa emisi dari gunung berapi, yang melepaskan gas seperti sulfur dioksida dan karbon dioksida, melemahkan ekosistem sehingga dinosaurus lebih mudah punah ketika asteroid menghantam.
Penelitian yang dipimpin Yale menyelidiki waktu pelepasan gas ini dengan memodelkan dampak karbon dioksida dan emisi belerang terhadap suhu global dan membandingkannya dengan catatan suhu paleotemperatur yang mencakup kepunahan.
Mereka menemukan bahwa setidaknya 50% atau lebih pelepasan gas dalam jumlah besar dari Deccan Traps terjadi jauh sebelum dampak asteroid, dan hanya dampaknya yang terjadi bersamaan dengan peristiwa kepunahan massal.
Teori Kepunahan Karena Asteroid
Pada tahun 1980, fisikawan pemenang Hadiah Nobel Luis Walter Alvarez dan putranya yang ahli geologi, Walter, menerbitkan teori bahwa lapisan bersejarah tanah liat kaya iridium disebabkan oleh asteroid besar yang bertabrakan dengan Bumi.
Kehancuran seketika yang terjadi itu dianggap sebagai alasan mengapa dinosaurus mati begitu tiba-tiba.
Asteroid adalah benda berbatu besar yang mengorbit Matahari. Diameternya berkisar dari beberapa hingga ratusan meter. Setiap pecahan asteroid yang selamat dari pendaratan di Bumi dikenal sebagai meteorit.
Hipotesis Alvarez awalnya kontroversial, namun kini menjadi teori kepunahan massal yang paling banyak diterima di akhir Era Mesozoikum.
Seberapa besar asteroid yang membunuh dinosaurus?
Paul berkata, bahwa ampak asteroid didukung oleh bukti yang sangat bagus karena kami telah mengidentifikasi kawahnya. Kini sebagian besarnya terkubur di dasar laut lepas pantai Meksiko. Usianya persis sama dengan kepunahan dinosaurus non-burung, yang dapat dilacak dalam catatan batuan di seluruh dunia.’
Asteroid tersebut diperkirakan memiliki lebar antara 10 dan 15 kilometer, namun kecepatan tumbukannya menyebabkan terciptanya kawah yang jauh lebih besar, dengan diameter 150 kilometer. Ini adalah kawah terbesar kedua di planet ini.
Kecelakaan yang membunuh dinosaurus itu melemparkan sejumlah besar puing ke udara dan menyebabkan gelombang pasang besar menyapu sebagian benua Amerika.
Teori Kepunahan Karena Komet
Sebuah studi terbaru menemukan, dinosaurus mungkin musnah karena komet, bukan asteroid. Hal ini berdasarkan para peneliti Harvard berteori bahwa sepotong komet menabrak Bumi lebih dari 66 juta tahun yang lalu dan menciptakan kawah Chicxulub.
Adapun, kawah Chicxulub terletak di Semenanjung Yucatán di Meksiko modern dan membentang sekitar 110 mil. Dampak yang tercipta dari kawah tersebut terkait dengan peristiwa kepunahan Kapur-Paleogen, yang membunuh dinosaurus dan banyak spesies lainnya, menurut penelitian tersebut.
Peneliti lain juga berteori bahwa komet adalah penyebab peristiwa kepunahan massal, bukan asteroid seperti yang dihipotesiskan banyak ilmuwan. Komet tersebut berasal dari Awan Oort, sekelompok benda es yang terletak di tepi tata surya, ujarnya.
Komet adalah bongkahan puing luar angkasa yang sebagian besar terbuat dari gas beku, sedangkan asteroid adalah bongkahan batu yang paling sering ditemukan di Sabuk Asteroid, kumpulan asteroid antara Mars dan Jupiter, menurut koresponden cuaca CNN, Chad Myers.
Teori Kepunahan Karena Vulkanik
Apakah dinosaurus kehilangan dominasinya secara tiba-tiba atau bertahap? Beberapa ilmuwan berpendapat jawabannya terletak pada sisa-sisa gunung berapi yang sudah lama tidak aktif.
Lapisan lava kuno yang sangat besar yang ditemukan di seluruh dunia menggambarkan bumi 65-70 juta tahun yang lalu di mana letusan gunung berapi merupakan hal biasa.
Menurut hipotesis vulkanisme, aktivitas vulkanik skala global ini memuntahkan begitu banyak gas, abu, dan debu ke atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari mencapai permukaan bumi.
Akibatnya, dinosaurus serta banyak organisme lain yang tidak mampu beradaptasi dengan baik terhadap kondisi yang keras pun musnah.
Nah, salah satu teori Hipotesis vulkanisme adalah aliran lava yang sangat besar menutupi hampir 200.000 mil persegi wilayah Deccan di India, dan di beberapa tempat mencapai kedalaman lebih dari 6.500 kaki.
Aliran lava seperti ini memberikan bukti adanya aktivitas vulkanik setidaknya selama 500.000 tahun menjelang kepunahan dinosaurus.